Senin, 04 Januari 2010

MENYOAL SULIH BAHASA FILM ASING (INGGRIS) DI TELEVISI

Menyulih atau mengalihbahasakan (dubbing) film-film berbahasa asing ke dalam bahasa Indonesia, akan menjadi keharusan dalam penayangan film-film asing di televisi. Upaya ini dilandaskan pada satu kebijaksanaan yaitu dalam rangka penerjemahan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebudayaan asing ke dalam bahasa Indonesia. Soal yang segera muncul berkaitan dengan hal ini adalah bagaimana nilai positif dan negatif dari pengalihanbahsaan film-film berbahasa asing dalam televisi itu? Dapatkah dikatakan bahwa pengalihbahasaan itu insklusif juga pengalihbudayaan?
Dua soal ini menarik tatkala memahami bahwa bahasa merupakan bagian dari budaya. Selain itu, bahasa sekaligus sebagai media pengungkap suatu budaya. Namun, tidak dapat dikatakan bahwa bahasa identik dengan budaya. Karenanya, alih bahasa tidak serta merta menjadi alih budaya. Alasan ini yang dapat menjadi sisi positif dan negatif. Keharusan penyulihan bahasa dalam film-film asing (berbahasa Inggris) di televisi akan menimbulkan pro dan kontra.
Bisa jadi sisi negatif dari penyuilhan bahasa lebih dominan daripada positifnya. Hal ini mengigat bahwa pengalihbahasan merupakan bagian yang tidak menyentuh seluruh aspek budaya, yang mungkin sedang diwakilkan dalam suatu film asing tersebut, melainkan hanya satu bagian dari keseluruhan itu.

Bahasa dan budaya
Chaedar Alwasillah (1994), secara jelas mengungkapkan bahwa bahasa tidak identik dengan budaya. Jarang kita temukan frase Teachers of english as a foreign culture. Mengingat, budaya berbeda dengan bahasa, sulit untuk dideskripsikan dan dikodifikasi secara sistematis. Kita cenderung lebih sadar pada bahasa daripada budaya sendiri.
Justru karena ketidakidentikan antara bahasa dan budaya, seringkali kita menemukan adanya keganjilan-keganjilan antara bahasa yang diucapkan dengan situasi adegan dalam film. Misalnya, ungkapan ”Selamat bersenang-senang”. Dalam ranah makna bahasa Indonesia, ungkapan ini dapat berarti hal yang menyenangkan secara umum (dalam suasana pesta, setelah meraih sukses, dan ini pun belum lazim). Sementara itu, dalam makna aslinya ungkapan tersebut dimaksudkan (bermakna khsus) pada aktivitas seks. Hal ini kontekstual dengan adegan yang disuguhkan.
Jika mencermati kenyataan ini, maka kita akan menyakini kebenaran suatu pernyataan bahwa sesungguhnya tidak ada satu bahasa pun yang dapat diterjemahkan secara sempurna ke dalam bahasa lain. Hal ini mengisyaratkan bahwa sulih bahasa bukan hanya soal teks bahasa secara harfiah, tetapi juga meliputi soal konteks budaya yang melingkupinya.

Dua pandangan
Dalam menyikapi fenomena munculnya berbagai film asing, mungkin di antara kita terkelompok ke dalam dua pandangan. Pertama, kelompok nasionalis-puritan. Kelompok ini mencemaskan berbagai film asing itu sebagai suatu yang merisaukan, mengikis kebangsaan. Kedua, kelompok ini justru menyambutnya dengan tepuk riuh. Mereka tidak mencemaskannya melainkan merasa bersyukur dengan disatukannya masyarakat kita (pemirsa televisi) dalam jaringan informasi sejagat itu.
Kedua kelompok itu tentu memliki alasannya masing-masing. Kelompok pertama beralaskan bahwa pengaruh film-film asing dapat mengaburkan jati diri bangsa, memungkinkan munculnya monokultural global. Sementara kelompok kedua, beralasan bahwa kita memang perlu membuka mata terhadap fakta dunia (lain) yang berbeda dengan bangsa kita.
Lepas dari pandangan mana yang paling benar memberikan manfaat, kita memang sedang dihadapkan pada suatu kenyataan mendunianya berbagai aspek kehidupan, tidak terkecuali informasi dan hiburan. Berbagai ungkapan yang condong pada kelompok nasionalis-puritan seperti: televisi sebagi media pencerdas kehidupan bangsa, televisi hendaknya jangan menayangkan film-film asing yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa. Ibarat anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Buktinya, film-film asing bernuansa seks dan kekerasan selalu saja hadir di layar gelas televisi kita. Sepertinya dua muatan ini menjadi bumbu penyedap yang mesti hadir.
Kita masih berharap banyak kepada media audio-visual ini untuk tetap berkomitmen terhadap misi edukatif- informatifnya, selain juga berhak menayangkan siaran yang rekreatif. Hal tersebut, sejatinya ditopang oleh peraturan dan perundangan dari pemerintah agar tayangan-tayangan televisi tetap memegang nilai-nilai edukatif yang dapat bermaslahat bagi masyarakat.
Berbagai kesepakatan dan peraturan, selalu saja bermuatan positif. Akan tetapi, kita selalu saja kesulitan dalam realisasinya. Misalnya, pada awal pendirian televisi swasta, mereka mengklaim diri sebagai televisi yang informatif-edukatif. Bahkan ada salah satu televisi swasta ysng jelas-jelas menamakan diri sebagai Televisi Pendidikan Indonesia. Akan tetapi, nama tinggalah hanya nama. Semboyan tinggal hanya semboyan. Kenyataan kita digiring kepada kecenderungan pendapat bahwa televisi kita (khususnya televisi swasta) adalah sebagai media yang efektif bagi informasi suatu produk barang dan jasa. Muncul pula suatu pendapat ekstrem bahwa televisi tidak lebih menawarkan jasa dan barang dagangannya.
Dalam hal kualitas siaran dan muatan-muatan siaran, memang pada akhirnya sangat bergantung pada pengelolaan televisi itu sendiri. Apakah mereka berada pada wilayah idealita, ataukah hanya mementingkan nilai praktis-pragmatis demi keuntungan semata?
Berbagai penelitian tentang pengaruh tayangan terhadap pemirsanya, terbukti ada, meski tidak terlalu besar. Pada 1972, di AS ke luar 11 jilid laporan berjudul ”Television and Growing Up: The Impact of Televised Violence”. Dalam laporan itu dikemukakan adanya korelasi yang rendah antara kekerasan di televisi dengan perilaku agresif anak muda. Meski temuan penelitian itu masih belum mengkhawatirkan, tetapi kontribusi tayangan kekerasan di televisi terhadap pemirsanya jangan dianggap ringan. Bagaimanapun sisi negatif itu biasanya paling mudah ditiru daripada sisi positifnya.***


Referensi:

Alwasilah, A. C. 2000. Politik Bahasa dan Pendidikan.Bandung: Penerbit PT Rosdakarya.
Mustopo, M. H. 1988. Ilmu Budaya Dasar: Kumpulan Essay, Manusia dan Budaya. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional
Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa. 2008 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.



oleh Lutfia Putrinurani(0902343)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar